Selasa, 02 Juni 2020

Realita Pendidikan di Indonesia


    Pendidikan adalah pilar penting dalam hidup yang tidak boleh diabaikan oleh warga negara manapun termasuk Indonesia. Dengan majunya pendidikan maka maju pulalah suatu bangsa dan negara. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kualitas pendidikan yang sangat memprihatinkan, ini dikarenakan banyaknya ketimpang tindihan. Pergantian kurikulum yang secara berkala ternyata tidak memberikan dampak yang baik kepada pendidikan di negeri ini, semakin kesini pendidikan Indonesia semakin tergerus pada partikularisme, degradasi dan ketidakadilan. Salah satu dari tujuan berdirinya negara kesatuan republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945, ini agar manusia Indonesia mampu memiliki karakter yang baik, berjiwa patriotrisme, idealis, dan mampu bersaing diera globalisasi. 

Pada tahun 70 an pendidikan indonesia patut dibanggakan, namun pergeseran nilai dan paradigma dalam pendidikan itu sendiri membuat pendidikan indonesia semakin kesini semakin mengalami kemunduran bahkan saat ini siswa dan mahasiswa lebih bangga jikalau mereka menempuh pendidikan diluar negeri seperti Malaysia ketimbang dinegeri sendiri. Ini menandakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangatlah rendah (Abdullah). Hal ini dikarenakan kompleksnya problematika bangsa, sejak bergulirnya reformasi kemerosotan pendidikan kian tampak, kemunduran moral anak – anak bangsa, angka pengangguran sarjana tinggi, serta korupsi yang semakin menjadi – jadi (Nurul Afifah, 2015). Ditambah kurikulum yang selalu berubah – ubah dengan jargon setiap pergantian kementerian pendidikan dan kebudayaan maka berubah pula kurikulum. Padahal perubahan kurikulum tidak akan pernah membuat majunya pendidikan di Indonesia apabila tidak di imbangi  dengan kontemplasi dan kerjasama dari semua stakeholder.

    Berikut uraian singkat perjalanan kurikulum di Indonesia yang pernah diterapkan, pertama kali yaitu pada masa Orde Lama yang telah mengalami 3 kali perubahan yaitu 1947, 1952, dan kurikulum 1964. Namun kita bahas pada masa Orde Baru dan Reformasi yang diawali dari kurikulum 1975, 1984, dan 1994 yang menngunakan metode belajar yang padat dan berorientasi pada tekstual buku dan diakhiri dengan Evaluasi Balajar Tahap Akhir Nasional ( EBTANAS ), sekarang diberi nama Ujian Nasional ( UN ). Belum genap kurikulum 1975 diubah menjadi kurikulum 1984 ketika KEMENDIKBUD dijabat oleh Nugroho Notosusanto, hal yang menonjol dari kurikulum ini adalah adanya mata pelajaran wajib dari SD sampai SLTA yaitu pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ( PSPB ), tujuannya agar peserta didik memahami sejarah dan mengambil hikmah perjuangan bangsanya sendiri sehingga PSPB dibuat semenarik mungkin tidak hanya sekedar hafalan.  Namun PSPB dihapuskan karena bertentangan dengan disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) dan Pendidikan Moral Pancasila ( PMP ) yang semuanya berbicara tentang sejarah nasional Indonesia. Kurikulum ini juga menerapkan sistem Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA ), namun pada pelaksanaannya sangat minim sekali sehingga sering diplesetkan dengan Catat Buku Sampai Abis, karena itula metode yang sering terjadi. Setelah berganti menteri oleh Fuad Hassan, maka kurikulum diganti kembali menjadi kurikulum tahun 1994, menurut beliau kurikulum ini akan lebih baik dari kurikulum sebelumnya hal ini dikarenakan masuknya mata pelajaran matematika, bahasa indoensia dan bahasa inggris disemua tingkat pendidikan, tetapi kurikulum ini menuai kritikan karena tidak adanya pelajaran seni, seni rupa, seni musik, seni tari, dsb. Menurut Darmaningtyas ( 2004 : 81 )”kurikulum 1994 adalah proses pemiskinan cita – cita terhadap cita rasa seni karena manusia direduksi untuk memahami teknologi saja”. Pada kurikulum ini juga PSPB dihapus dan PMP diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan ( PPKn ). Perubahan kembali terjadi pada masa menteri Wardiman Djojonegoro yang mengubah semester menjadi caturwulan dan mengganti sebutan SMP menjadi SLTP, SMA, SMU dan SMK dan dimuatkannya mata pelajaran baru yaitu mulok yang mana mulok adalah mata pelajaran abu – abu atau tidak masuk standar kurikulum karena siapa saja ( sekolah mana saja ) bebas memasukkan pelajaran apa di mulok tersebut seperti seni budaya, BK, seni tari, seni musik, bahasa asing selain bahasa inggris, dsb. Kemudian setelah mengalami perubahan kurikulum kembali pada tahun 2000, yang mana lebih menekankan pada keleluasan dalam belajar. Murid menjadi sorotan dalam proses belajar mengajar, guru dan murid menjadi aspek proses balajar itu sendiri yaitu adanya unsur timbal balik yang membuat metode ini menjadi metode diskusi, namun murid lebih banyak berinteraksi dibanding guru dan guru dijadikan sekedar fasilitator. setelah itu berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ) pada tahun 2004, serta mengalami perubahan kembali pada tahun 2006 atau KTSP ( kurikulum tingkat satuan pendidikan ). Kurikulum berbasis komptensi ini sebenarnya mengalami kebingungan sendiri dalam tata kelola sekolah dan guru dalam mangajar, pasalnya guru dituntut untuk kreatif dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar disekolah yang membuat banyak guru menjadi kewalahan dan bingung. Untuk mempersiapkan generasi emas 2030, maka kementrian pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan mengeluarkan surat edaran nomor 179342/MPK/KR/2014 tentang pelaksanaan kurikulum baru yaitu K13 atau kurikulum 2013, lagi – lagi kurikulum mengalami perubahan (Abong, 2015). Basis ini malah lebih menyulitkan, pasalnya murid dituntut kompetitif dan kreatif dalam belajar tetapi waktu murid untuk bersantai dan bermain tersita karena pelaksanaan kegiatan belajar mengajar menerapkan sistem fullday.

    Selain pergantian kurikulum yang masif dilakukan di negeri ini, ada banyak hal yang mempengaruhi bobroknya sistem pendidikan di Indonesia. Yakni sedikitnya dana APBN yang dialokasikan hanya mencapai 20 % saja dari total APBN senilai 419 triliun. Peningkatan kualitas guru dan penghargaan terhadap guru yang tidak begitu diperhatikan, buktinya pemberian gaji guru non PNS  yang tidak semestinya bahkan tidak digaji sama sekali. Serta sistem politik Indonesia yang amburadul. Penelitian UNESCO dalam Global Education Monitoring ( GEM ) tahun 2016 menyatakan mutu pendidikan Indonesia menempati peringkat ke 10 dari 14 negara berkembang, sedangkan kualitas guru menempati urutan terakhir yakni 14 dari 14 negara berkembang ( kompasiana.com ). Keadaan memperihatinkan lainnya adalah penyediaan fasilitas pendidikan yang tidak adil antara kota dan daerah – daerah terpencil, akibatnya murid yang orang tuanya mampu akan melaksanakan urbanisasi pendidikan. Lalu kalau sudah begini bagaimana dengan mereka yang tidak mampu?

    Kita mengahadapi Revolusi Industri yang semakin masif berkembang yang saat ini memiliki tantangan yang lebih berat dibanding sebelumnya. Loncatan teknologi yang kian hari – kian berkembang, hingga saat ini generasi bangsa telah memiliki alat canggih berupa gawai yang setiap beberapa bulan mengalami pembaharuan. Padahal dengan benda itu ia bisa melakukan hal yang bisa dilakukan pemerintah, dengan benda itu hal yang bisa dilakukan orang dewasa mereka pun bisa lakukan. Berbahaya nya adalah ketika mereka tidak memiliki pendidikan karakter yang baik maka sumber kejahatan akan berawal dari kekacauan tersebut. Ironisnya teknologi ini tidak ada pembatasan usia bahkan anak belum masuk TK pun telah memegang benda ini, ini juga dikarenakan rasa kasih sayang orang tua yang terlalu berlebihan pada anak – anak mereka.  

    Pendidikan yang baik diawali dari pendidikan karakter, akhlak dan mental. Hal ini termaktub dalam UU NO.20 tahun 2003 dengan tegas menyatakan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual agama, pengendalian diri, kepribadian, keceradasan, akhlak mulia serta keteremapilan yang diperlukan dalam dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Apakah itu hanya sekedar formalitas negara atau seremonial saja, sementara implementasi nya tidak masif. Inovasi pendidikan yang baik ditengah merebaknya teknologi ini adalah dengan kembali kepada pendidikan karakter dan mental yang lebih fundamental karena dengan itu generasi negeri ini akan dapat dengan baik me-filter dan memanfaat teknologi dengan beradab. Namun realitanya pendidikan karakter tidak mendominasi di sekolah – sekolah formal baik di kota terlebih lagi di desa, pendidikan kita hanya fokus kepada materil semata. Lihatlah berapa banyak murid yang di injek dengan pendidikan matematika, bahasa inggris, fisika, kimia, biologi dsb namun mereka tidak mengerti apa hakikat belajar tentang hal – hal tersebut sehingga mereka merasa bosan dan tidak mau fokus dalam belajar. Ditambah guru yang tidak mengajarkan implementasi pendidikan yang benar, mereka hanya bisa marah karena murid tidak paham materi yang sudah djelaskan beberapa kali. Bahkan yang miris adalah ketika guru metematika misalnya menerangkan tentang rumus substitusi, pitagoras, subliminasi, pecahan campuran, cos tan ,dsb tetapi murid tidak paham. Apa yang keluar dari mulut guru? “Masa itu saja kalian tidak bisa”, maka murid yang merasa tidak bisa akan menganggap dia bodoh diantara murid – murid pintar di kelas matematika tersebut. Padahal pendidikan matematika, bahasa inggris, fisika sangatlah mendominasi disetiap Institusi sekolah dibanding pendidikan agama. Pendidikan spiritual agama non madrasah dan non pesantren hanya seminggu sekali berbeda dengan pendidikan metematika yang bisa 3 kali dalam seminggu.

    Ini dikarenakan rendahnya kualitas guru yang hanya mengajar ilmu yang mereka ampuh saja dan memaksakan agar murid bisa. Apa mereka lupa masa di perguruan tinggi mereka belajar manajemen pendidikan, psikologi pendidikan, bimbingan dan konseling, belajar dan mengajar, serta tinjauan kognitif dan afektif peserta didik, yang kesemua mata kuliah itu berorientasi agar bisa menjadi guru yang universal dalam melihat kecerdasan, minat dan bakat murid yang diajar. Hasil dari semua kesenjangan ini membuat generasi kita terdegradasi moral dan tidak dapat menjawab tantangan zaman. Buktinya banyak diantara mereka yang menjadi generasi instan dalam berkarya dan meraih impian, banyak yang memanfaatkan teknologi demi meraih keuntungan dengan cara tidak beradab, banyak yang memulai bisnis dengan orientasi uang semata, banyak pelaku hoax dan penerima hoax, banyaknya pelaku korupsi yang tidak terbendung. 

    Dari semua itu, penulis berpesan mari kita semua memiliki kesadaran untuk terus belajar dan meningkatkan potensi karakter diri kita, menyaring lika - liku kemajuan zaman, jadilah orang yang berbeda dalam hal kebaikan, karena banyak diantara mereka yang sama tetapi dalam hal keburukan. Politik di negeri kita akan sulit untuk menjadi lebih baik karena di interferensi oleh kepentingan golongan dan elit global yang kita tidak pernah tahu. Dan kita harus siap dengan semua tantangan dan rintangan yang akan menghadang kita ditengah perjalanan hidup. Ingat, dunia selalu berubah, pendidikan indonesia sulit mendapat titik terang karena miskin nya negara kita hingga alokasi dana tidak merata. Tetapi kita adalah generasi yang siap ditimpa ketidakadilan dan siap memperjuangkan kebenaran.

Wassalam Wr.Wb
Writed by Andika Saputra


Bibliography
Abdullah, A. A. (n.d.). KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA Di MATA DUNIA. 1.

Abong, R. (2015). Konstelasi Kurikulum Pendidikan di Indonesia. AT-TURAT Vol.9 nomor 2, 39 - 44.

Nurul Afifah, M. (2015). PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DIINDONESIA. ELEMENTARY VOL.1, 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pola pikir tentang Learning Oriented

Image/Pahamify.com Pada hakikatnya manusia selalu belajar dan terus belajar untuk selalu bertumbuh meningkatkan diri menjadi l...